Minggu, 07 November 2010

NATO (No Action Talk Only): Cukupkah kita hanya berkomentar?

Tanpa disadari kita sering melakukan sesuatu yang orang menyebutnya sebagai NATO. NATO ini bukan kumpulan serdadu dunia yang dipimpin Amerika Serikat, melainkan kependekan dari No Action Talk Only. Jadi, kebanyakan dari kita hanya suka ngomong dan ngomong. Jarang yang mau bertindak langsung. Contoh kasus yang ramai beberapa waktu lalu adalah pencemaran logam berat di Teluk Buyat. Dan banyak masalah-masalah lain yang muncul di koran/media, seperti banjir, longsor, dll. Seakan, masyarakat (publik) hanya disuguhi masalah dan tidak pernah ada penjelasan bagaimana penyelesaiannya yang bisa diketahui publik. Beberapa masalah mungkin ada penyelesaiannya, namun kebanyakan tidak tuntas dan tidak dapat dikonsumsi publik. Beberapa kasus yang pernah muncul di koran:

  • penurunan kesehatan akibat dugaan pencemaran logam berat (Buyat)
  • kulit bersisik di daerah Kintamani dan sekitarnya, Bali
  • perubahan sifat-sifat air sumur


Tidak ada aksi lanjutan sama sekali untuk mengetahui apakah masalah itu disebabkan oleh faktor alam atau kah ada faktor-faktor lain, misalnya antropogenik (manusia)? Sebagian besar kasus ini hanya mentok sampai di media/koran. Masyarakat hanya dijejali masalah tanpa ada penjelasan bagaimana menanganinya.

Biasanya, keterbatasan dana merupakan alasan yang paling klise dan masuk akal untuk justifikasi ketiadaan aksi ini. Rasa-rasanya para pejabat menjadi sangat miskin ketika harus membiayai penilitian untuk menjawab sebab musabab dari suatu masalah di masyarakat. Ok, seandainya dilakukan penelitian tidak pernah terekspos ke publik, entah dengan alasan konfidensial yang kalau diakar-katakan menjadi perusahaan yang konfiden tetapi rakyat yang ketiban sial. Banyak kasus seperti ini, misalnya Buyat, Lula (lumpur lapindo). Seakan publik hanya diracuni oleh masalah. Bagaimana mendidik masyarakat kalau mereka hanya diberikan masalah tanpa ada penjelasan bagaimana cara mencari solusinya?

Banyak masalah dapat diselesaikan (jika tidak mampu berdiri sendiri) dengan cara kolaborasi. Contohnya, pada kasus perubahan alamiah air. Pemerintah Daerah (Pemda) yang tidak punya sumberdaya manusia bisa bekerja sama dengan universitas di daerahnya untuk meneliti apa penyebab perubahan alamiah air ini. Kalau universitas di daerahnya tidak punya peralatan yang cukup, bisa minta bantuan universitas atau lembaga penelitian di daerah lain. Yang terpenting adalah kolaborasi. Misalkan di suatu daerah ada penyakit yang tiba-tiba mengendemik, pihak Pemda setempat bisa meminta bantuan beberapa ahli di universitas untuk memecahkannya, misalnya menganalisis prilaku masyarakat di daerah endemik, menganalisis kandungan kimia air dan sistem airtanah yang ada di daerah itu, dan sebagainya.

Tidak ada komentar: