Sabtu, 20 November 2010

Format gambar untuk publikasi: Haruskah JPEG?

Setelah 'mengundurkan diri' dari mengajar matakuliah Geokomputasi, tampaknya pemilihan format gambar untuk Tugas Akhir atau karya tulis mahasiswa masih dianggap masalah sepele. Sebagian besar mahasiswa masih menggunakan format gambar secara sembarangan atau asal-asalan belum lagi resolusinya. Mereka memilih format JPEG untuk semua jenis gambar. Yah mirip seperti orang pada umumnya mengetik apapun harus memakai Micro$oft Word, hehe. Begitu juga dengan pemilihan format gambar, apapun gambarnya formatnya JPEG. Kayak iklan aja, cape deh..

Di tulisan yang lain saya pernah menjelaskan bagaimana resolusi gambar yang optimal untuk suatu media (presentasi, publikasi, dll). Pada tulisan ini saya ingin berbagi mengenai format gambar apakah yang tepat untuk keperluan publikasi (ilmiah). Ide ini muncul setelah men-type set sebuah jurnal geologi di mana sebagian gambar yang dikirim penulisnya tidak sesuai standard publishing. Seperti diuraikan di tulisan yang lain, gambar terdiri dari dua macam, yaitu raster dan vektor. Dalam suatu tulisan ilmiah bisa jadi suatu gambar dapat 'majemuk' (kombinasi raster dan vektor).

Di dunia pengolahan gambar terdapat beraneka macam format gambar, seperti TIFF, JPEG, PNG, BMP, GIF, WMF, EPS, PDF, SVG, dll. Dengan alasan iklan, format gambar natif suatu perangkat lunak tidak saya sebutkan..:). Btw, di luar resolusi gambar, pemilihan format gambar sangat berpengaruh pada hasil akhir suatu publikasi, apalagi publikasi cetak yang memerlukan ketepatan format dan resolusi. Jika kita bekerja dengan gambar vektor atau majemuk, maka format gambar seperti JPEG sebaiknya dihindari. JPEG yang terkompres 'loosy' sangat buruk ketika ada komponen vektor pada sebuah gambar, seperti titik, garis, atau ttfont. Ini sebenarnya bisa dimanipulasi dengan meninggikan resolusi gambarnya menjadi 600dpi atau lebih. Konsekuensinya berkas gambar menjadi sangat besar, bisa bermasalah kalau akan dikirim via internet.

Jalan satu-satunya ya memilih format gambar yang kompresinya tidak 'loosy', seperti PNG dan PDF supaya berkas gambar tidak menjadi bengkak. Semua perangkat lunak komersial, seperti CorelDraw, ArcGIS, MapInfo yang biasa digunakan di geologi bisa mengekspor ke format ini (kalau gak salah lho, maklum saya anti dengan perangkat lunak komersial, hehe). Jadi, jangan semua gambar diekspor ke JPEG apalagi pakai istilah 'pokoknya harus JPEG'. Format JPEG sangat bagus untuk gambar raster murni, seperti foto, citra, dll. Kalau mau aman gunakan saja format PNG dijamin bisa dibaca dimana pun dan dengan perangkat lunak apapun, termasuk facebook..:). Selamat berkreasi.

Senin, 08 November 2010

Berbahayakah aliran lahar (dingin)?

Hujan begitu deras mengguyur lereng Merapi yang sedang memuntahkan isi perutnya. Air hujan bercampur dengan material vulkanik akan menghasilkan aliran lahar. Bagaimanakah bahaya aliran lahar ini?

Seingat penulis, di dunia per-lahar-an dikenal ada dua macam, yaitu lahar panas dan lahar dingin (kalau gak salah ingat lho). Sebenarnya ada beberapa tulisan ilmiah yang tidak menggunakan istilah lahar, tetapi menggunakan istilah Perancis 'debris avalanche'. Namun, di beberapa tulisan lain memakai istilah yang lebih pendek yaitu lahar. Istilah lahar pertama kali diperkenalkan ke dunia geologi oleh Bemmelen (1949) untuk material vulkanik yang diangkut oleh air (lihat Fisher, 1960). Bemmelen mendefinisikan lahar sebagai suatu aliran lumpur, yang mengandung rombakan material yang berasal dari vulkanik.

Aliran lahar yang merupakan pergerakan air yang sangat pekat oleh material vulkanik menaikkan energi kinetik air, sehingga daya angkut aliran ini menjadi sangat besar. Kalau air sungai biasa saja dengan debit besar bisa menghanyutkan apa saja yang dilewatinya. Ini baru energi kinetik air saja, bayangkan energi kinetik ini ditambah dengan energi butiran-butiran material vulkanik yang saling bergerak satu sama lainnya. Apa saja yang dilewatinya akan diangkutnya. Anda bisa bayangkan, bongkah batuan sebesar setengah lebar sungai dapat diangkut oleh aliran ini. Betapa besarnya energi yang dimilikinya. Apa artinya rumah atau manusia sendiri jika ditabrak aliran ini? Ngeri deh membayangkannya.

Analoginya, anda bayangkan anda dilempari satu ember campuran beton. Satu butir pasir saja sudah membuat sakit, apalagi berbutir-butir bergerak bersama-sama menyerang anda, hehe... gak kebayang sakitnya. Jadi hindari lah aliran lahar ini.

Minggu, 07 November 2010

Ledakan dasyat sebelum atau saat kemunculan 'wedus gembel'

Selama Merapi meletus selalu disertai ledakan yang terdengar hingga 20-an Km. Tidak jarang ledakan ini menimbulkan ketakukan warga. Bahkan teman saya yang rumahnya jauh di luar radius bahaya Merapi ini lari menyelamatkan diri. Apakah yang menyebabkan ledakan ini? Perlukah kita kabur menyelamatkan diri? Ulasan berikut ini didasarkan atas pengetahuan geologi ekonomi, karena penulis tidak terlalu paham soal kegunungapian.

Ada dua kemungkinan penyebab terjadinya ledakan. Yang pertama, lepasnya gas-gas yang terkandung dalam magma ketika sampai di permukaan bumi. Perbedaan tekanan yang sangat tajam antara ketika magma di perut bumi dan di atmosfer menyebabkan gas-gas yang larut dalam magma dengan mudah keluar. Hal ini karena magma begitu jenuh dengan gas. Ini identik dengan pada pembentukan struktur breksiasi pada endapan sistem porfiri. Tekanan H2O yang kelewat batas menyebabkan dinding-dinding batuan hancur oleh tekanan ini. Proses ini disebut sebagai second boiling. Yang kedua, bertemunya material panas (piroklastik yang konon panasnya mencapai 600-an derajat Celsius) dengan tubuh air, dalam hal ini air sungai atau air yang ada di puncak gunung. Pertemuan ini juga menghasilkan ledakan. Ini mirip dengan proses boiling pada endapan sistem epitermal. Proses boiling pada sistem epitermal bisa menghancurkan dinding-dinding batuan yang dilewatinya.

Dari sudut geologi ekonomi, mestinya baik proses second boiling maupun boiling sama-sama diikuti oleh ledakan yang dasyat, hanya tidak terdengar, karena sistem epitermal/porfiri sudah ada lebih dari 1jt tahun yang lalu dan jauh di kedalaman lebih dari 1km di bawah permukaan bumi. Jadi, menurut logika geologi ekonomi, dua hal yang mungkin menyebabkan ledakan ketika terjadi letusan gunungapi yaitu:

  • pelepasan gas-gas volatil dari tubuh magma ke atmosfer, dan
  • bertemunya material piroklastik dengan tubuh air.


Kedua proses ini merupakan hal yang biasa di alam, jadi tidak perlu ditakutkan. Yang penting ikuti aturan yang ditetapkan oleh yang berwenang dan jangan lupa selalu gunakan masker.

Memburu emas ke puncak gunung, eh ketemu pacet...

Ini sebuah sharing pengalaman eksplorasi emas di suatu daerah dengan metode float mapping (pemetaan fragmen-fragmen bijih yang tersebar di permukaan baik permukaan tanah maupun pada alur sungai, gile panjang banget terjemahan Indonesianya). Pemetaan float merupakan metode sederhana untuk mengetahui keberadaan emas atau mineral bijih apa saja yang ada di suatu wilayah. Namun, metode ini tidak bisa diterapkan sembarangan, kecuali kalau kita ingin buang-buang waktu di hutan, hehe.

Ada dua tahap utama dalam eksplorasi mineral bijih, studi pra-lapangan atau istilah asingnya 'desk study', cuman kalau di-Indonesiakan jadi studi meja... lucu jadinya, masak mempelajari meja. Lebih keren pakai istilah studi pra-lapangan (menurut ane neh). Studi pra-lapangan bertujuan untuk mengetahui gambaran geologi regional dari suatu wilayah yang akan dipelajari. Dengan studi ini paling tidak kita sudah tahu batuan dan struktur geologi apa saja yang akan dijumpai. Diharapkan dengan studi awal ini, studi lapangan menjadi lebih efisien, dalam artian tidak semua lokasi di wilayah KP harus didatangi.

Selain itu, dari studi pra-lapangan akan diketahui atau diestimasi kira-kira batuan-batuan mana saja yang mungkin menjadi pembawa bijih dan batuan-batuan mana saja yang mungkin menjadi penjebaknya atau istilahnya kerennya batuan samping (wallrock) serta bagaimana pola sebarannya dapat diketahui dari struktur geologi regionalnya. Bagaimana karakteristik batuan-batuan tersebut? Apakah mempunyai porositas tinggi? Bagaimana tingkat kompaksinya? Banyak pertanyaan yang harus dijawab sebelum ke lapangan memburu emas.

Menurut beberapa bacaan dan lapangan, batuan yang kompak cenderung menghasilkan urat-urat yang tipis atau bahkan tidak ada. Hal ini disebabkan oleh energi untuk memperlebar urat lebih kecil daripada energi statis yang dimiliki batuan samping untuk mempertahankan posisinya. Dengan asumsi perlebaran urat disebabkan oleh boiling (lihat artikel yang lain). Jadi, kalau batuan penutupnya berupa breksi andesit atau lava andesit, kecil sekali kemungkinan untuk mendapatkan urat yang lebar, atau bahkan tidak ditemukan sama sekali. Pada kasus ini pemetaan float tidak begitu berguna karena akan sulit untuk mendapatkan float yang diharapkan.

Menurut bacaan yang lain, pemetaan hidrogeokimia atau metode MMI (mobile metal ion) konon lebih efisien dan bisa menyingkap mineralisasi yang tertutup oleh batuan di atasnya. Cuman metode ini lebih mahal daripada pemetaan float atau langsung, karena dibutuhkan analisis kimia air atau tanah yang cukup banyak dan semua ini uang lho, hehe. Jadi, tanpa perencanaan yang jelas, ke gunung bukannya mendapatkan emas, tetapi malah mendapat serangan pacet.

Oleh karena itu, kepada para pengusaha yang bingung duitnya mau dikemanain, tolong diskusikan dulu dengan ahli geologi ekonomi, sebelum memutuskan apakah KP itu akan dieksplorasi dengan detail atau tidak. Eksplorasi membutuhkan waktu yang panjang, dan tentunya tidak instan.

NATO (No Action Talk Only): Cukupkah kita hanya berkomentar?

Tanpa disadari kita sering melakukan sesuatu yang orang menyebutnya sebagai NATO. NATO ini bukan kumpulan serdadu dunia yang dipimpin Amerika Serikat, melainkan kependekan dari No Action Talk Only. Jadi, kebanyakan dari kita hanya suka ngomong dan ngomong. Jarang yang mau bertindak langsung. Contoh kasus yang ramai beberapa waktu lalu adalah pencemaran logam berat di Teluk Buyat. Dan banyak masalah-masalah lain yang muncul di koran/media, seperti banjir, longsor, dll. Seakan, masyarakat (publik) hanya disuguhi masalah dan tidak pernah ada penjelasan bagaimana penyelesaiannya yang bisa diketahui publik. Beberapa masalah mungkin ada penyelesaiannya, namun kebanyakan tidak tuntas dan tidak dapat dikonsumsi publik. Beberapa kasus yang pernah muncul di koran:

  • penurunan kesehatan akibat dugaan pencemaran logam berat (Buyat)
  • kulit bersisik di daerah Kintamani dan sekitarnya, Bali
  • perubahan sifat-sifat air sumur


Tidak ada aksi lanjutan sama sekali untuk mengetahui apakah masalah itu disebabkan oleh faktor alam atau kah ada faktor-faktor lain, misalnya antropogenik (manusia)? Sebagian besar kasus ini hanya mentok sampai di media/koran. Masyarakat hanya dijejali masalah tanpa ada penjelasan bagaimana menanganinya.

Biasanya, keterbatasan dana merupakan alasan yang paling klise dan masuk akal untuk justifikasi ketiadaan aksi ini. Rasa-rasanya para pejabat menjadi sangat miskin ketika harus membiayai penilitian untuk menjawab sebab musabab dari suatu masalah di masyarakat. Ok, seandainya dilakukan penelitian tidak pernah terekspos ke publik, entah dengan alasan konfidensial yang kalau diakar-katakan menjadi perusahaan yang konfiden tetapi rakyat yang ketiban sial. Banyak kasus seperti ini, misalnya Buyat, Lula (lumpur lapindo). Seakan publik hanya diracuni oleh masalah. Bagaimana mendidik masyarakat kalau mereka hanya diberikan masalah tanpa ada penjelasan bagaimana cara mencari solusinya?

Banyak masalah dapat diselesaikan (jika tidak mampu berdiri sendiri) dengan cara kolaborasi. Contohnya, pada kasus perubahan alamiah air. Pemerintah Daerah (Pemda) yang tidak punya sumberdaya manusia bisa bekerja sama dengan universitas di daerahnya untuk meneliti apa penyebab perubahan alamiah air ini. Kalau universitas di daerahnya tidak punya peralatan yang cukup, bisa minta bantuan universitas atau lembaga penelitian di daerah lain. Yang terpenting adalah kolaborasi. Misalkan di suatu daerah ada penyakit yang tiba-tiba mengendemik, pihak Pemda setempat bisa meminta bantuan beberapa ahli di universitas untuk memecahkannya, misalnya menganalisis prilaku masyarakat di daerah endemik, menganalisis kandungan kimia air dan sistem airtanah yang ada di daerah itu, dan sebagainya.

Merkuri: petaka dibalik kekayaan dan kecantikan

Dulu rencananya artikel ini saya beri judul 'Sisi gelap lingkungan di sekitar tambang', tetapi kurang heboh.

Di dunia ini tidak ada yang tidak ingin cantik dan kaya. Banyak cara telah dilakukan untuk mencapai keduanya. Salah satunya adalah dengan bantuan merkuri (Hg), si logam cair yang sangat dinamis pada suhu kamar.

Untuk tampil cantik tidak perlu ke dukun (seperti di sinetron-sinetron yang marak di beberapa stasiun TV), cukup dengan perlengkapan kecantikan yang mengandung merkuri. Di sini konon merkuri berfungsi sebagai zat penambah untuk mempercepat pemutihan kulit. Sedangkan dalam dunia kekayaan, merkuri dapat membantu mempercepat pengambilan emas dari bebatuan yang mengandung emas (seperti cerita-cerita misteri mencari kekayaan saja...:)). Meskipun berbeda tetapi mirip, yaitu sama-sama meminta tumbal.

Secara geokimia, merkuri merupakan kelompok logam kalkofil, yang artinya mudah berikatan dengan belerang. Di alam, merkuri dapat berasal dari dua sumber, yaitu merkuri alamiah yang biasanya bersumber dari mineral zinabar (HgS) hasil mineralisasi hidrotermal, dan merkuri yang berasal dari aktivitas manusia (antropogenik).

Merkuri di alam umumnya dalam fase gas dengan waktu bertahan di atmosfer sekitar 1 tahun, dan diserap oleh air laut sebesar 0,29 pertahun. Karena laju penyerapan oleh air laut kecil, maka sisa merkuri akan diendapkan di permukaan tanah. Mikroorganisme tertentu, seperti bakteri anaerobik dapat menyebabkan metilasi pada merkuri membentuk merkuri monometil [CH3Hg] atau merkuri dimetil [(CH3)2Hg] yang sangat mudah larut dalam air dan siap diserap oleh organisme air, seperti ikan. Konsentrasi merkuri tergantung rantai makanan, dan bisa mencapai beberapa ribu ppm. Konsentrasi ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia (Eby 2004).

Williams et al. (1999) menyatakan bahwa tidak ada konsensus internasional mengenai ambang batas merkuri terhadap risiko kesehatan manusia. Ketidakpastian ini dipengaruhi oleh periode laten antara masuknya merkuri dan efek neurologis. Umur, durasi penyerapan, kontribusi metil Hg dalam darah, dan status asupan makanan yang berhubungan dengan unsur Se (selenium) juga berpengaruh. Dari hasil telaah 300 studi epidemologi (MARC, 1981) menyimpulkan bahwa gangguan neurologi disebabkan oleh konsentrasi merkuri dalam darah mencapai >80 ng/ml. Hasil penelitian lainnya, respon depresi disebabkan oleh kandungan merkuri dalam darah sedikitnya 20 ng/ml (Lacerda & Salomons 1998).

Jadi, berhati-hatilah makan ikan yang sungainya sudah tercemar merkuri. Pada konsentrasi yang tinggi bisa menyebabkan kematian, seperti kasus di Minamata beberapa tahun silam.

Jumat, 05 November 2010

Debu vulkanik: berbahayakah?

Mungkin bisa dikatakan, letusan merapi kali ini tidak seperti biasanya. Letusan-letusan merapi sebelumnya umumnya berupa guguran lava yang diiringi oleh aliran abu panas (yang oleh penduduk disebut "wedus gembel"). Letusan kali ini bertipe eksplosif dengan sebaran abu volkanik sangat luas. Berbahayakah abu volkanik ini bila terhirup?

Dalam mineralogi medis, suatu cabang mineralogi yang berkembang akhir-akhir ini, dikatakan bahwa toksisitas beberapa debu mineral telah diketahui sejak lama. Agricola yang menulis buku tentang De Re Metalica Libri XII (1556) pada tambang di Bohemia melaporkan bahwa, "abu yang masuk melalui saluran pernafasan dan paru-paru menghasilkan kesulitan dalam pernapasan - jika debu mempunyai sifat korosif, akan melukai dinding paru-paru." Suatu penyakit yang dikenal dengan istilah silikosis, disebabkan oleh masuknya debu silika kristalin dalam pernapasan. Menurut Fubini & Fenoglio (2007), jika kontak dengan fluida biologi, debu mineral membentuk radikal bebas. Radikal bebas ini akan mengganggu fungsi sel dan membran dalam tubuh. Mutasi pada DNA yang disebabkan oleh radikal bebas ini merupakan awal dari pembentukan kanker.

Bagaimana dengan debu vulkanik? Gunungapi memproduksi partikel berukuran nano- sampai mikrometer, termasuk silika kristalin dan belerang yang mungkin mempunyai potensi racun. Menurut ilmu batuan (petrologi), debu vulkanik tersusun oleh gelas vulkanik, ukuran nanometer sampai milimeter, dengan bentuk yang runcing-runcing atau dikenal dengan istilah 'glass shard'. Kalau pembaca pernah melihat batuapung yang berongga, bayangkan bila rongga pada batuapung membesar dan akhirnya dinding antar rongganya menjadi tipis dan pecah/patah. Nah seperti itu bentuk glass shard yang berukuran halus sebagai partikel debu vulkanik.

Partikel abu vulkanik terfragmentasi selama erupsi, menghasilkan debu yang masih segar, dengan permukaan reaktif dan belum teroksidasi. Hasil penelitian epidemologi dan toksikologi menurut Fubini & Fenoglio (2007), menunjukkan bahwa risiko kesehatan dari abu vulkanik yang mengandung silika kristalin tidak berhubungan dengan kandungan silika kristalin. Namun, kandungan besi pada abu vulkanik sangat reaktif dengan membentuk radikal bebas hidroksil. Selain itu abu vulkanik juga mengandung unsur berbahaya yang lain, seperti belerang.

Jadi, selain bentuknya yang runcing, debu vulkanik mengandung unsur-unsur yang berbahaya pada tubuh jika terhirup secara langsung. Gunakan masker atau penutup hidung dan mulut yang standar untuk menghindari pengaruh buruk dari debu vulkanik ini. Jangan spelekan kesehatan anda.


Quicklook: Debu vulkanik Merapi, 05-11-2010 di bawah mikroskop dengan perbesaran 250x. Idealnya partikel berukuran halus (nano- hingga mikrometer) dapat dilihat dengan jelas pada mikroskop elektron.