Jumat, 07 September 2007

Mengkombinasi gambar raster dan vektor

Gambar merupakan komponen penting dalam publikasi, entah itu web, majalah, atau buku. Namun, tidak jarang orang menambah gambar ke dalam teks asal-asalan, sehingga kualitas gambar menjadi rendah. Kalau anda hobi membaca buku, kebanyakan penerbit pemula tidak mempertimbangkan kualitas cetakannya, baik kualitas gambar maupun editingnya. Saya pernah membaca sebuah buku yang tiap halamannya selalu ditemukan banyak salah ketik. Dari sisi kepuasan konsumen harusnya buku itu tidak layak dijual. Tetapi gemana lagi, wong di Indonesia konsumen menjadi sesuatu yang selalu terpaksa.

Waktu saya masih kuliah, saya biasanya mencari buku-buku yang masuk kategori pre-published copy, i.e., buku yang dicetak dalam jumlah terbatas (untuk uji coba), dan biasanya dijual dengan harga <50%. Buku yang saya beli itu kalau resmi harganya sekitar Eur 350,- tetapi karena ada cacat cetak (separasinya tidak bagus), buku itu dijual dengan harga Eur 125,- (langsung dari penerbitnya, Springer-Verlag). Jadi penerbit-penerbit besar di LN sangat memanjakan pembacanya. Bukan seperti di Indonesia jelekpun dijual dengan harga sama mahalnya dengan yang bagus. Kasihan deh gue...:-).

Kembali ke gambar... Coba anda perhatikan gambar yang ada di buku yang pernah anda beli/baca. Gambar dapat dikelompokkan dalam dua macam, yaitu gambar raster (bitmap) dan gambar vektor. Kualitas gambar raster sangat tergantung dengan resolusi, sedangkan gambar vektor tidak tergantung resolusi. Masalahnya ketika menggabung kedua gambar ini menjadi satu. Contohnya, suatu gambar foto diberikan atribut panah dan teks, di mana baik panah maupun teksnya merupakan komponen vektor. Bagaimana kualitasnya? Tergantung bagaimana cara anda mengabungkannya. Apakah digabungkan dengan image-editor (Gimp) atau digabung dengan vector-editor (Inkscape, Sodipodi, Xfig). Image-editor meskipun bisa dipakai untuk menambah komponen vektor, tetapi komponen ini tetap dianggap sebagai raster. Ini akan bermasalah ketika melakukan resizing (perbesaran/pengecilan gambar).

Bagaimana cara yang paling baik? Gunakan vector-editor yang bisa membaca/mengimport berkas bitmap, misalnya Inkscape dan Xfig (dua program ini favorit saya). Langkah yang pertama dilakukan adalah menghitung resolusi gambar raster yang akan ditambahi atribut vektor (lihat perhitungan resolusi di artikel sebelumnya). Resolusi yang cukup bagus untuk gambar beratribut vektor adalah 450dpi. Setelah gambar disesuaikan resolusinya, import dengan perangkat lunak vector-editor lalu tambahkan atribut vektor yang anda inginkan. Setelah itu, export gambar ini dalam format EPS (Encapsulated PostScript). Kelebihan format ini adalah menyimpan gambar dalam format aslinya, vektor sebagai vektor dan raster sebagai raster.

Namun, tidak semua text-editor dapat menyisipkan gambar dalam format ini. Jalan satu-satunya, ya gambar EPS diimport dengan Gimp pada resolusi 600dpi lalu ubah kembali ke resolusi 450dpi dan simpan dalam format TIFF (jangan pakai format lain, apalagi JPEG yang loosy-compressed). Format JPEG, GIF dan PNG hanya cocok untuk gambar raster tanpa atribut vektor.

Pasir kuarsa atau pasir bangunan?

Beberapa tahun lalu saya ikut jadi tim inventarisasi bahan galian di suatu daerah. Waktu presentasi laporan akhir terjadi diskusi yang cukup menegangkan. Bagaimana tidak... bukan bagaimana ya, hik. Ahli geologi dari Dinas Pertambangan Daerah bersikukuh bahwa pasir yang ada di daerahnya itu pasir bangunan. Sedangkan ketua tim kami mengatakan bahwa pasir tersebut adalah pasir kuarsa (pasir yang mengandung kuarsa >90%). Kalau lihat definisinya, pasir bangunan adalah pasir yang dapat digunakan untuk bahan bangunan. Baik pasir biasa maupun pasir kuarsa bisa dijadikan pasir bangunan, he..he... Apanya yang menarik dari debat itu? Harga pasirnya yang menarik.

Pasir bangunan dan pasir kuarsa harganya jauh berbeda... kalau boleh dibilang, harga pasir kuarsa super duper jauh lebih tinggi daripada pasir bangunan. Hal ini karena pemanfaatannya yang berbeda. Dari sisi kelompok, pasir bangunan termasuk bahan galian golongan C, sedangkan pasir kuarsa masuk bahan galian industri. jadi beda banget... tidak BT lagi alias beda tipis. Di dunia ini ada beberapa jenis pasir atau batupasir. Pasir kuarsa atau sering disebut sebagai quartz arenite (kalau sudah membatu), pasir arkosik (komponen dominannya feldspar), pasir graywacke (komponennya bercampur cem-macem, dengan ukuran butiran juga tidak seragam. Nah, pasir terakhir inilah yang sebenarnya disebut sebagai pasir bangunan. Jadi tidak semua pasir dapat dikategorikan sebagai pasir bangunan, kecuali anda mau menjual murah, hik.

Pasir kuarsa biasanya digunakan dalam industri gelas atau cetakan untuk mencetak logam. Untuk industri gelas, pasir kuarsa harus memiliki karakteristik: Fe2O3<0,025%, TiO2<0,03%, Al2O3<11%, CaO dan MgO<0,03% (ini diambil dari buku Jerman, lihat SNI untuk keperluan di Indonesia). Perbedaan penggunaan pasir kuarsa ini akan merugikan kas daerah, harga yang berbeda juga pajak akan berbeda. Entahlah, apakah si oknum yang dari Dinas itu mendapat persenan dari investornya atau tidak, hanya dia sendiri yang tahu. Yang jelas, pasir itu banyak cukup banyak macamnya, baik pasir kuarsa maupun pasir arkosik sama-sama merupakan bahan galian industri. Jangan dijual sebagai pasir bangunan... baik harga, pajak dll atributnya akan jauh berbeda.

Pesan dan kesan dari kasus ini adalah, baik Dinas Pertambangan Daerah maupun Pemda, jangan terburu-buru menjual aset di daerah anda... hanya sekadar untuk berlomba-lomba menambah PAD. Pikirkan masak-masak sebelum memutuskan untuk menjual ke investor. Kalau tidak tahu, jangan malu bertanya pada yang lebih ahli. Cari tahu, jangan-jangan ada sesuatu yang lebih menarik yang diincar oleh investor...

Pirit dan emas, bagaimana membedakannya?

Orang sering terbuai oleh penampakan pirit, yang kilapnya menyerupai emas. Kadang ada yang bertanya, apakah pirit ini emas? Atau apakah pirit ini mengandung emas? Uraian berikut ini akan mencoba mengulas tentang pirit yang tampaknya mirip seperti emas.

Pirit dengan rumus kimia FeS2, merupakan salah satu dari jenis mineral sulfida yang umum dijumpai di alam, entah sebagai hasil sampingan suatu endapan hidrotermal ataupun sebagai mineral asesoris dalam beberapa jenis batuan. Tidak ada penciri mineralisasi tertentu jika anda menjumpai pirit, apalagi sedikit (he..he...). Secara deskriptif, pirit ini mempunyai warna kuning keemasan dengan kilap logam. Jadi, kalau tidak biasa dengan mineral-mineral logam, sering menganggapnya sebagai emas. Secara struktur kristal, baik pirit dan emas sama-sama kubis, namun sifat dalamnya yang berbeda. Emas lebih mudah ditempa daripada pirit. Kalau dipukul, pirit akan hancur berkeping-keping, sedangkan emas tidak mudah hancur karena lebih mudah ditempa (maleable).

Cara yang cukup mudah adalah dengan melihat asahan polesnya di bawah mikroskop bijih (dengan syarat, butiran emas harus lebih besar dari 1 μm (mikron)). Meskipun sama-sama isotropik, tetapi kecemerlangan emas tidak dapat ditandingi oleh pirit, begitu juga bentuknya. Biasanya di bawah mikroskop pantul, emas tampak berbentuk tak beraturan dibandingkan pirit yang kadang bentuk kubisnya masih tampak. Cara lain yang lebih canggih adalah dengan menganalisis kandungan kimianya, misalnya dengan microprobe atau SEM plus EDX. Dengan cara ini anda bisa memastikan apakah yang anda sebut pirit itu emas atau pirit?

Apakah pirit mengandung emas? Mungkin saja emas terdapat di dalam pirit, sebagai yang dikenal dengan istilah refractory gold. Emas ini ukurannya sangat kecil atau sering dikatakan sebagai invisible gold, karena ukurannya <0.1 μm, tidak sanggup dideteksi dengan SEM (mikroskop elektron). Emas ini biasanya hadir bersama-sama arsen (arsenian pyrite atau arsenopyrite). Cara yang paling mudah, ya kumpulkan piritnya lalu analisis mikrokimia... (tapi ini mahal).

Rabu, 05 September 2007

Bijih besi: apakah yang menarik hanya besinya?

Setahun yang lalu diajak teman untuk menjadi saksi ahli untuk pengertian ekplorasi dan eksploitasi di kota Padang. Namun, di sini yang menarik bukan kasusnya, tetapi tipe bijih besi yang ada di daerah sengketanya. Hampir sebagian besar bijih besi di dunia dihasilkan dari endapan bertipe BIF (Banded Iron Formation), yaitu suatu bijih yang terusun oleh lapis-lapis oksida besi (hematit atau magnetit bersama-sama kuarsa). Ada beberapa tipi bijih besi yang lain yang cukup menarik, terutama di Indonesia... seperti skarn, laterit, dan sedimenter.

Tipe bijih besi di daerah sengketa sebenarnya secara pasti belum bisa ditentukan, karena keterbatasan data dan kualitas data sekunder yang tidak begitu baik. Namun, dilihat dari kandungan besinya yang tinggi, dengan kadar titanium yang rendah kemungkinan besar bijih besi ini merupakan endapan hidrotermal, misalnya skarn. Selain kandungan unsur-unsur ini, di sekitar bijih itu dijumpai beberapa bongkah-bongkah batugamping dan batuan beku (granit). Jadi, kemungkinan tipe mineralisasi besi di daerah sengketa ini hampir 70% dapat dipastikan berupa endapan skarn. Nah, selain besi adakah unsur lain yang menarik pada endapan jenis ini?

Seperti telah diketahui, granit di Sumatra sebagian besar merupkan granit pembawa timah (tin granite). Biasanya selain unsur Sn (timah putih) kemungkinan besar bisa dijumpai unsur tungsten (W) yang bernilai sangat ekonomis. Mobilitas tungsten mungkin lebih tinggi daripada Sn (cek deh di buku geokimia), sehingga ketika pembentukan skarn Sn tetap nongkrong pada batuan pembawanya, granit sedangkan W berkeliaran bersama-sama larutan hidrotermal (mungkin lho...). Makanya pada fase pembentukan skarn, Fe mestinya akan berasosiasi dengan sedikit W. Justru, W -lah yang lebih menarik di daerah ini dibandingkan dengan Fe-nya sendiri. Btw, kehadiran mineral-mineral yang mengandung tungsten belum dapat dipastikan, masih perlu dicek dengan asahan poles (mineragrafi) dan microprobe.

Nah kalau ada yang mau beli bijih besi dengan harga lumayan, jangan dijual dulu... cek lah terlebih dahulu apakah ada unsur lain yang mungkin lebih mahal daripada besi? Apakah tungsten (W), vanadium (V), titanium (Ti) ataukah emas (Au)-nya. Kalau nggak barangkali akan kecolongan yang kedua kali setelah kasus PT Freeport beberapa tahun silam.

Batulempung vs mineral lempung

Istilah lempung dalam geologi mempunyai dua pemakaian yang berbeda. Lempung sebagai ukuran butiran suatu batuan sedimen klastik yang diameter butirannya <1/256 mm (skala Wentworth). Mungkin ada yang bertanya, apakah batulempung tersusun oleh mineral lempung? Belum tentu, batu lempung tersusun oleh agregat atau mineral yang berukuran lempung (<4 μm). Tetapi, mungkin saja sebagian komponen penyusun batulempung ini berupa mineral lempung. Nah, apa itu mineral lempung?

Seperti pengertian batulempung di atas, mineral lempung adalah mineral yang berukuran lempung. Definisi ini mungkin benar dan mungkin juga tidak. Namun, mineral ini merupakan mineral silikat hidros yang sangat melimpah di permukaan bumi. Khususnya, terkonsentrasi pada kondisi geologi dimana interaksi air dan batuan cukup aktif. Struktur dan komposisi kimianya merupakan suatu respon terhadap destabilisasi mineral yang terbentuk pada kondisi temperatur-tekanan yang lebih tinggi. Lingkungan yang biasanya mineral ini dapat dijumpai meliputi: tanah, lapukan batuan, sistem geotermal, seri diagenesis terpendam, dll. Yang pasti, apapun asal-muasalnya, mineral yang melimpah di permukaan bumi ini selalu berukuran halus (<4 μm). Mengapa partikel ini selalu kecil (berukuran halus).

Tulisan ini dirangkum dari artikel Meunier (2006) yang berjudul "Why are clay minerals small?" Menurut tulisan ini dikatakan bahwa, karena sifat-sifat kristalokimianya (ketersedian ruang antar lapis yang tidak sempurna, hidrasi yang heterogen, dll), sehingga secara genetik akan cacat jika membentuk kristal yang berukuran lebih besar. Namun, tiap jenis mineral lempung mempunyai kekuatan untuk berkembang yang berbeda-beda. Mineral yang perkembangannya mempunyai sedikit cacat mungkin akan berkembang hingga mencapai beberapa puluh mikrometer, misalnya kaolin atau ilit.

Itu kira-kira kenapa mineral lempung berukuran halus.

Minggu, 02 September 2007

Glaukonit, mineral hijau yang eksotis...

Habis ngecek pemetaan mahasiswa yang lagi bertugas Pemetaan Mandiri di daerah antara Blora dan Cepu (Oky, Juni, Salman, Puja dan Danawan), cukup jauh dari Yogyakarta. Mesti nyewa mobil untuk sampai di sana dengan cepat. Tidak ada sesuatu yang menarik selama perjalanan, karena seperti biasa asal kena angin jalan yang sepoi-sepoi dan basah, saya pasti tertidur pulas dan bangun ketika mobil berhenti. Namun di salah satu lokasi yang akan saya cek bersama 5 mahasiswa, ada sesuatu yang menarik. Glaukonit yang berwarna hijau tua yang hadir pada batuan batupasir karbonatan (entah lah belum ngecek petrografinya). Dari dulu cuman dengar istilahnya saja, belum lihat barangnya, he..he...

Istilah glaukoni dan glaukonit merupakan istilah yang umum dijumpai pada literatur tentang batuan sedimen. Istilah glaukoni (glaucony) diperkenalkan oleh Odin & Letolle (1980) untuk suatu butiran yang terbentuk oleh proses pembentukan glaukonit. Ini bukan nama sebuah mineral, tetapi lebih kepada istilah morfologi atau fasies. Istilah glaukonit telah digunakan oleh ahli-ahli sedimentologi (sedimentologists) untuk mengidentifikasi suatu mineral lempung hijau yang kaya akan potas (K2O lebih dari 8%) yang pada awalnya dijumpai dalam fasies glaukoni.

Jadi, istilah glaukonit (menurut beberapa referensi, lihat di bawah) melingkupi suatu seri mineral mika yang kaya besi yang terbentuk pada lapis bagian atas sedimen dasar laut pada lokasi dimana masukan sedimennya kecil. Sulit kan dicerna, wong diterjemahkan asal-asalan... Btw, meskipun cukup sulit dipahami namun mineral ini sungguh menarik bagi ahli geologi atau sedimentologi. Mineral ini merupakan suatu mika yang terbentuk dari beraneka macam material awal (e.g., biotit) oleh proses diagenesis pada lingkungan laut.

Karena kandungan potas (K)- dan proses pembentukannya, mineral ini merupakan salah satu dari mineral yang dapat digunakan untuk stratigrafi sekuen dan menentukan umur sedimentasi (K-Ar dating). Jadi kalau anda ingin menentukan kedua hal ini dan pas ada mineral-mineral berbentuk pelet berwarna hijau, coba tes dengan XRD apakah benar glaukonit atau bukan. Kalau benar, anda bisa memanfaatkannya untuk kedua hal di atas. Selain itu, kandungan potas pada glaukonit juga dapat digunakan untuk menentukan kematangan dan mengevaluasi waktu yang dibutuhkan untuk pembentukannya.

Saran bacaan
  • Giresse, P., Wiewióra, A., Grabska, D., 2004. Glauconitization processes in the northwestern Mediterranean (Gulf of Lions). Clay Minerals 39: 57-73.
  • Longuépée, H., Cousineau, P. A., 2006. Constraints on the genesis of ferrian illite and aluminium-rich glauconite: Potential impact on sedimentology and isotope studies. The Canadian Mineralogist 44: 967-980.

Sabtu, 01 September 2007

Mikroskop katodoluminesens, untuk apa?

Suatu mikroskop biasanya menggunakan cahaya matahari atau lampu sebagai sinar utamanya. Mikroskop katodoluminesens (CL) dihasilkan dari suatu tembakan elektron yang digabungkan dengan suatu mikroskop optik. Atas dasar suhu CL yang dihasilkan, mikroskop ini dapat dibagi menjadi dua macam, i.e., mikroskop dengan CL panas (hot-CL) dan mikroskop dengan CL dingin (cold-CL). Penggunakan masing-masing mikroskop ini tergantung dari kekuatan mineral yang akan dianalisis. Misalnya, mineral karbonat biasanya digunakan cold-CL, sedangkan kuarsa lebih tepat menggunakan hot-CL.

Untuk apa sih CL digunakan? Sinar CL biasanya akan diserap atau diperkuat oleh suatu unsur dalam suatu kristal/mineral. Sebagai contoh, efek transmisi sinar CL pada mineral karbonat (misalnya kalsit) sangat dipengaruhi oleh kehadiran unsur Fe dan Mn. Dengan mengetahui pola luminesen yang dihasilkan oleh mineral karbonat, dapat diinterpretasikan perubahan kandungan Fe dan Mn ketika mineral tersebut terbentuk.

Lalu, apa sih pentingnya Fe dan Mn? Kedua unsur ini begitu penting pada proses redoks (reduksi-oksidasi) dari lingkungan pembentukannya. Kondisi redoks ini akan berpengaruh pada proses transportasi atau deposisi dari suatu logam. Anda mungkin pernah mendengar, ketika tanah dalam kondisi asam (tanah asam), mobilitas logam sangat tinggi. Tanaman menjadi kelebihan logam (mikro nutrisi) dan so pasti mati.

Dalam dunia geologi ekonomi, kondisi redoks ini sangat penting untuk menginterpretasikan kapan logam yang bernilai ekonomis akan mengalami transportasi atau deposisi. Kehadiran Mn yang lebih dominan pada mineral karbonat yang biasanya ditandai oleh luminesen berwarna oranye, mencirikan bahwa mineral tersebut terbentuk pada kondisi reduksi. Pada kondisi ini logam mulia seperti emas dan perak lebih mudah mengalami transportasi dibandingkan deposisi (terendapkan). Pada asosiasi mineral karbonat seperti ini dapat dipastikan kadar emas atau peraknya akan rendah.

Hal yang sama juga dapat diterapkan pada batuan sedimen karbonat (biasanya yang dianalisis adalah semen karbonatnya). Semen karbonat yang mengandung Mn tinggi, terbentuk pada suasana reduksi atau di bawah muka air laut. Begitu juga sebaliknya. Dengan melihat pola luminesen semen karbonat dapat diinterpretasi bagaimana fluktuasi muka air laut ketika batuan karbonat ini diendapkan.

Berbeda dengan cold-CL di atas, hot-CL biasanya digunakan untuk menentukan provenan dari kuarsa atau untuk menentukan apakah kuarsa sudah mengalami saling-tumbuh atau masih orisinal? Hal ini dapat dilihat dari perbedaan warna CL yang dihasilkan dari tiap-tiap kuarsa ini.

Demikian sekilap info...